Pertemanan memang tak selamanya ada di dalam suatu kesenangan. Terkadang, pertemanan juga tidak terlepas dari berbagai konflik ataupun berbagai permasalahan yang timbul dari berbagai pihak. Hal ini dapat timbul karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki ego dan sikap idealis mereka masing – masing sehingga tidak perlu diherankan apabila akan tetap ada konflik di dalam sebuah pertemanan. Dari pertengkaran atau perselisihan yang terjadi, ini justru dapat menjadi sebuah kontrol atau indikator seberapa tingkat kesolidan atau kekompakan pertemanan tersebut. Untuk mennghindari perpecahan atau konflik yang berlanjut, dapat dijaga dengan tidak mengedepankan ego diri, memahami batasan keterbukaan antar individu, dan sikap lapang dada dalam menerima pendapat dari teman yang memiliki pendapat berbeda. Selain itu, konflik juga dapat terwujud dari sikap ketergantungan antara satu sama lainnya. Bahkan dari segi pengambilan keputusan, akan terjadi kebimbangan atau ketidak-yakinan untuk memilih karena takut hal yang akan dipilih, tidak sesuai dengan yang diharapkan temannya. Hal ini yang paling sering terjadi pada sebuah hubungan pertemanan pada remaja dan dewasa awal. Untuk itulah, penulis merasa tertarik untuk memilih tema pengaruh antara pertemanan pada remaja dengan penentuan sikap yang akan dipilihnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dana L Haynie dan D Wayne Osgood dalam artikel jurnal mereka yang berjudul “Reconsidering Peers and Delinquency: How do Peers Matter?”, mereka menyatakan “Adolescent who spend more time in unstructured socializing with peers, away from authority figures, have higher rates of delinquency because they more often encounter situations conductive to deviance” (2005: 1124). Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersosialisasi dengan lingkungan pertemanannya dan jauh dari otoritas, memiliki tingkat kenakalan yang lebih tinggi karena mereka sering mengalami kondisi yang memungkinkan untuk melakukan penyimpangan. Menurut saya, yang paling mempengaruhi kenakalan tersebut karena seorang remaja cenderung ingin coba – coba dan ingin dianggap oleh kelompoknya sehingga dia akan melakukan apapun untuk itu termasuk meniru tingkah laku apapun dari teman-temannya walaupun tingkah laku tersebut tidak baik, misalnya dengan bolos sekolah, mengejek atau merendahkan orang lain, merokok, bahkan sampai menggunakan obat – obatan terlarang atau narkoba dan perilaku seks bebas yang membahayakan. Setelah melakukan hal tersebut, remaja tersebut akan mengalami suatu kepuasan tersendiri dan merasa lebih dianggap oleh lingkungan pertemanannya karena telah melakukan hal yang sama.
Hal ini hampir serupa dengan hasil artikel jurnal yang ditulis oleh Joseph P. Allen, Maryfrances R. Porter dan F. Christy McFarland dengan judul “Leaders and followers in adolescent close friendship: Susceptibility to peer influence as a predictor of risky behavior, friendship instability, and depression”, menyatakan penelitian telah menunjukkan bahwa antara pemuda yang beresiko mengalami kenakalan, teman – teman sebaya mereka dapat sangat mendukung perkembangan penyimpangan tersebut sebagian oleh entraining satu sama lain dalam pola perilaku menyimpang (Dishion, Poulin, & Burraston, 2001; Dishion, Spracklen, Andrews, & Patterson, 1996). Hal ini juga didukung dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Vitaro, Tremblay, Kerr, Pagani, dan Bukowski dari University of Virginia pada tahun 1997. Mereka menemukan bahwa remaja yang memiliki tingkat gangguan perilaku yang sedang (diantara tinggi dan rendah), akan menjadi lebih nakal ketika teman – teman disekitarnya terganggu.
Beberapa hubungan sangat penting karena hubungan itu memberikan semacam zona aman – suatu keadaan yang aman – yang meningkatkan kemampuan remaja untuk mengatasi perubahan ini serta sebagai dasar dari yang untuk usaha maju dan eksperimen "dengan peran baru dan identitas” (Call & Mortimer. 2001: 2) seperti yang dituliskan dalam artikel jurnal berjudul “Relationships in Adolescence” oleh Peggy C Giordano (2003: 261). Apabila para remaja tersebut telah melakukan kegiatan yang dianggap pro terhadap kelompok (hubungan pertemanan) mereka, itu akan membuat mereka menjadi merasa aman dengan kata lain mereka menjadi dianggap. Lebih dari itu, ada beberapa remaja yang sangat atau bahkan berlebihan dalam menyikapi loyalitas atau terlalu setia dengan kelompok tersebut akan melakukan kegiatan apapun yang dianggap dapat menyenangkan anggota kelompok. Hal itu cenderung mengarah kepada altruisme. Altruisme adalah sifat yang selalu mementingkan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Ironisnya, para remaja hanya memiliki sikap altruism kepada teman – temannya saja, tidak kepada keluarga ataupun orang tuanya. Berbeda dengan sifat hirarki antara orang tua dengan anak, persahabatan mereka cenderung egalitarian atau kecenderungan memperlakukan seseorang dengan sama, mendapatkan hal yang sama, dan diperlakukan dengan hal yang sama (Arneson Richard, 2002). Youniss dan Smollar (1985) menekankan bahwa teman dekat lebih menerima para remaja ini dengan apa adanya daripada orang tua yang selalu lebih berorientasi kepada masa depan anaknya dan peduli dengan konsekuensi yang berpotensi negatif dari perilaku anaknya. Maka dari itulah anak – anak remaja cenderung lebih dekat kepada teman sebaya mereka daripada kepada keluarga ataupun orang tua mereka.
Berbeda dengan pernyataan yang lainnya Porter, dkk (2006) juga membahas tentang keanekaragaman dari beberapa kelompok pertemanan remaja. Anak – anak remaja yang terbiasa dengan heterogenitas atau keberagaman dalam kelompoknya, akan tidak terlalu mudah untuk terkena pengaruh negatif dari temannya. Hal ini membuktikan bahwa tidak hanya pengaruh negatif dari teman sebaya yang mempengaruhi sikap para remaja menjadi buruk, ada juga pengaruh positif yang diahsilkan dari pergaulan tersebut dan menghasilkan penentuan sikap yang baik pada akhirnya. Tentu saja pengaruh positif ini yang diharapkan lebih dirasakan oleh para remaja yang sedang mencari jati diri mereka.
Remaja sebagai generasi penerus yang sangat diharapkan dapat mengharumkan nama baik keluarga, negara, dan agama, bisa saja mengalami mengalami kelabilan atau ketidak – tepatan dalam penentuan sikap. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pergaulan sehari – hari mereka yang penuh dengan tantangan. Dibutuhkan sebuah kontrol yang dapat diperoleh dari dalam diri remaja tersebut, maupun dari luar diri mereka. Dari dalam diri dapat berupa akhlak dan budipekerti yang baik sejak kecil sehingga dapat memilih sikap yang baik maupun yang buruk. Sedangkan dari luar diri dapat berupa pengawasan dari orang tua ataupun teman – teman yang peduli terhadap kebaikan kerabatnya tersebut. Pengawasan dari orang tua diharapkan tidak terlalu otoriter sehingga anak tetap dapat memilih sendiri jalan hidupnya dan tidak menjadi berpaling atau lebih patuh kepada orang lain yang dianggapnya lebih baik bagi remaja tersebut. Pergaulan dengan teman – teman yang baik akan mengarahkan remaja tersebut kepada arah kebaikan pula. Seperti kata filsafat lama, jika ingin wangi, maka bergaullah dengan penjual minyak wangi dan bila ingin pintar, bergaulah dengan seorang yang pandai pula. Maka dari itulah pergaulan dengan teman – teman sebaya tidak selalu baik atau tidak selalu buruk, sehingga dibutuhkan sebuah self-control yang baik agar dapat memilah antara yang baik dan yang butuk sehingga tidak mengalami kesalahan saat pengambilan sikap.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, J. P., Porter, M. R., & McFarland, F. C. (2006). Leaders and followers in adolescent close friendships: Susceptibility to peer influence as a predictor of risky behavior, friendship instability, and depression, Development and Psychopathology. 18: 155-172.
Giordano, P. C. (2003). Relationships in Adolescence. Annual Review of Sociology, 29, 257-280.
Haynie, D. L., & Osgood, D. W. (2005). Reconsidering Peers and Delinquency: How do Peers Matter? Social Fierce, 84, 2, 1109-1130.
Kawi, I. (2010). Pertemanan, Web: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/25/pertemanan/-12.
Richard, A., (2002). Egalitarianism, The Stanford Encyclopedia of Philosophy Web: http://plato.stanford.edu/entries/egalitarianism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar